Pendahuluan
Masyarakat madani, yang merupakan kata lain dari masyarakat
sipil (civil society), kata ini sangat sering disebut sejak kekuatan otoriter
orde baru tumbang selang satu tahun ini. Malah cenderung terjadi sakralisasi
pada kata itu seolah implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah
yang tengah dihadapi oleh bangsa kita. Kecenderungan sakralisasi berpotensi
untuk menambah derajat kefrustasian yang lebih mendalam dalam masyarakat
bila terjadi kesenjangan antara realisasi dengan harapan. Padahal kemungkinan
untuk itu sangat terbuka, antara lain, kesalahan mengkonsepsi dan juga
pada saat manarik parameter-parameter ketercapaian.
Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat
wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan
politik bagi masyarakat luas.
Masyarakat Sipil Vs Militer
Dalam tataran praktis sementara orang melihat, masyarakat
madani dianggap sebagai institusi sosial yang mampu mengkoreksi kekuatan
“militer “ yang otoriter. Dalam arti lain masyarakat sipil memiliki konotasi
sebagai antitesa dari masyarakat militer. Oleh sebab itu eksistensi masyarakat
sipil selalu dianggap berjalan linier dengan penggugatan Dwi Fungsi ABRI.
Dengan begitu menurut yang pro pada pemikiran ini, konsep Indonesia baru
yang dicita-citakan merupakan masyarakat tanpa pengaruh dan dominasi kekuatan
militer. Maka dengan demikian dinamika kehidupan sosial dan politik harus
memiliki garis batas pemisah yang jelas dengan dinamika pertahanan dan
keamanan.
Koreksi kritis terhadap peran sosial ABRI bagi sementara
orang merupakan keharusan sejarah setelah melihat betapa rezim lama memposisikan
ABRI sebagai “backing” untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok
ekonomi kuat tertentu yang memiliki akses bagi penguatan legitimasi politik
Soeharto. Sementara mereka tidak melihat komitmen yang sebanding untuk
fungsi substansialnya yakni pertahanan dan keamanan.
Berlanjutnya kerusuhan di beberapa tempat dan terancamnya
rasa aman masyarakat, serta kekurangprofesionalan dalam teknik penanganan
pada kasus-kasus politik tertentu merupakan bukti kuat bahwa militer tidak
cukup memiliki kecakapan pada fungsi utamanya. Maka sangat wajar bila kader-kader
militer dipersilahkan untuk hengkang dari posisi eksekutif dan legislatif,
ke tempat yang lebih fungsional yakni barak-barak.
Kekurangsetujuan terhadap implementasi Dwi Fungsi ABRI,
khususnya tugas kekaryaan, sebenarnya syah-syah saja namun masalahnya apakah
masyarakat madani tepat bila hanya dipersepsikan sebagai bentuk peminggiran
peran militer. Kebutuhan untuk keluar dari rasa takut akibat distorsi peran
militer selama masa orde baru menyebabkan terjadinya proses kristalisasi
konsep masyarakat madani yang berbeda dengan konsep bakunya. Dengan kata
lain telah terjadi gejala “contradictio internemis” pada wacana masyarakat
madani dalam masyarakat kita dewasa ini.
Masyarakat Sipil Vs Negara
Masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society)
dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami sebagai antitesa dari
“masyarakat politik” atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya
Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran
mengenai masyarakat sipil tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi
radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi
alat kapitalisme.
Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni
negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis dengan memarjinalkan
peran masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan
non-pemerintah yang mampu mengimbangi dan mencegah kekuatan negara untuk
mengurangi tekanan-tekanan yang tidak adil kepada rakyatnya. Akan tetapi
di sisi lain, mendukung peran pemerintah dalam menjadi juru damai dan penjaga
keamanan dari kemungkinan konflik-konflik antar kepentingan dalam masyarakat.
Dengan kata lain perlu adanya reposisi struktural dan
kultural antar komponen dalam masyarakat, sederhananya, “serahkan urusan
rakyat pada rakyat, dan posisikan pemerintah sebagai pejaga malam”.
Penggugatan peran pemerintah oleh rakyat dalam konstelasi
sosial di Indonesia bukan sama sekali baru. Bob S.Hadiwinata (1999) mencatat
sejarah panjang gerakan sosial di Indonesia, yakni sejak abad ke-19 sampai
masa orde baru. Menurutnya pemerintahan orde baru, Soeharto, telah “berhasil”
mengangkangi hak-hak sipil selama 32 tahun, dengan apa yang ia sebut “tiga
strategi utama”. Dan selama itu pula proses marjinalisasi hak-hak rakyat
terus berlangsung, untuk kepentingan sekelompok pengusaha kroninya, dengan
bermodalkan slogan dan jargon “pembangunan”.
Celakanya rembesan semangatnya sampai pada strata pemerintahan
yang paling bawah. Camat, lurah, sampai ketua RT pun lebih fasih melantunkan
slogan dan jargon yang telah dipola untuk kepentingan ekonomi kuat. Tetapi
sementara mereka menjadi gagap dalam mengaksentuasikan kepentingan rakyatnya
sendiri. Maka yang terjadi, pasar yang telah mentradisonal menghidupi ribuan
masyarakat kecil di bongkar untuk dijadikan mall atau pasar swalayan. Demikian
pula, sawah dan kebun petani berubah fungsi menjadi lapangan golf. Perubahan
yang terjadi di luar jangkauan kebutuhan dan pemikiran masyarakat karena
mekanisme musyawarah lebih banyak didengungkan di ruang penataran ketimbang
dalam komunikasi sosial.
Masyarakat Peradaban dan Jahiliyah
Umat Islam telah memperkenalkan konsep masyarakat peradaban,
masyarakat madani, atau civil society, adalah Nabi Muhammad, Rosullullah
s.a.w sendiri yang memberikan teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban
tersebut. Setelah perjuangan di kota Makkah tidak menunjukkan hasil yang
berarti, Allah telah menunjuk sebuah kota kecil, yang selanjutnya kita
kenal dengan Madinah, untuk dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat
peradaban yang dicita-citakan. Di kota itu Nabi meletakan dasar-dasar masyarakat
madani yakni kebebasan. Untuk meraih kebebasan, khususnya di bidang agama,
ekonomi, sosial dan politik, Nabi diijinkan untuk memperkuat diri
dengan membangun kekuatan bersenjata untuk melawan musuh peradaban. Hasil
dari proses itu dalam sepuluh tahun, beliau berhasil membangun sebuah tatanan
masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan dilandasi ketaqwaan
dan ketaatan kepada ajaran Islam. Salah satu yang utama dalam tatanan masyarakat
ini adalah pada penekanan pola komunikasi yang menyandarkan diri pada konsep
egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan pada tataran vertikal.
Nurcholis Madjid (1999:167-168) menyebut dengan semangat rabbaniyah atau
ribbiyah sebagai landasan vertikal, sedangkan semangat insyanyah atau basyariah
yang melandasi komunikasi horizontal.
Sistem sosial madani ala Nabi s.a.w memiliki ciri unggul,
yakni kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi, dan demokratisasi.
Esensi ciri unggul tetap relavan dalam konteks waktu dan tempat berbeda,
sehingga pada dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia
yang mayoritas berpenduduk muslim tanpa mengusik kepentingan dan keyakinan
kelompok minoritas. Mengenai hal yang terakhir ini Nabi s.a.w telah memberi
cotoh yang tepat, bagaimana sebaiknya memperlakukan kelompok minoritas
ini.
Mungkinkah terwujud?
Berdasarkan kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya
adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya.
Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat
adanya partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum
diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku
masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani, adalah
ditemukannya fenomena, (a) demokratisasi, (b) partisipasi sosial, dan (c)
supremasi hukum; dalam masyarakat.
Pertama, sehubungan dengan karakteristik pertama yakni
demokratisasi, menurut Neera Candoke (1995:5-5) social society berkaitan
dengan public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan
tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang
menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung
menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang memiliki kekuatan
untuk mengkoreksi kecenderungan itu. Sementara itu untuk tumbuhnya
demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran berpribadi,
kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat tersebut dalam konstatasi relatif
memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan memberi secara
berimbang. Maka dalam konteks itu, mekanisme demokrasi antar komponen bangsa,
terutama pelaku praktis politik, merupakan bagian yang terpenting dalam
menuju masyarakat yang dicita-citakan tersebut.
Kedua, partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari
rekayasa merupakan awal yang baik untuk terciptanya masyarakat madani.
Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana tersedia iklim yang
memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah masyarakat
madani adalah tirani yang memasung secara kultural maupun struktural kehidupan
bangsa. Dan menempatkan cara-cara manipulatif dan represif sebagai instrumentasi
sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya tidak memiliki daya yang berarti
untuk memulai sebuah perubahan, dan tidak ada tempat yang cukup luang untuk
mengekpresikan partisipasinya dalam proses perubahan.
Tirani seperti inilah, berdasarkan catatan sejarah, menjadi
simbol-simbol yang dihadapi secara permanen gerakan masyarakat sipil. Mereka
senantiasa berusaha keras mempertahankan status quo tanpa memperdulikan
rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Pada masa orde baru cara-cara
mobilisasi sosial lebih banyak dipakai ketimbang partisipasi sosial, sehingga
partisipasi masyarakat menjadi bagian yang hilang di hampir seluruh proses
pembangunan yang terjadi. Namun kemudian terbukti pemasungan partisipasi
secara akumulatif berakibat fatal terhadap keseimbangan sosial politik,
masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit ditekan, dan berakhir dengan
protes-protes sosial serta pada gilirannya menurunnya kepercayaan masyarakat
kepada sistem yang berlaku. Dengan demikian jelaslah terbukti bahwa partisipasi
merupakan karakteristik yang harus ada dalam masyarakat madani. Demokrasi
tanpa adanya partisipasi akan menyebabkan berlangsungnya demokrasi pura-pura
atau pseudo democratic sebagaimana demokrasi yang dijalankan rezim orde
baru.
Ketiga, penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan
jaminan terciptanya keadilan. Al-Qur’an menegaskan bahwa menegakan keadilan
adalah perbuatan yang paling mendekati taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan
demikian keadilan harus diposisikan secara netral, dalam artian, tidak
ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh kebenaran di atas hukum. Ini
bisa terjadi bilamana terdapat komitmen yang kuat diantara komponen bangsa
untuk iklas mengikatkan diri dengan sistem dan mekanisme yang disepakati
bersama. Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum
akan mengarah pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan
rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi
tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat tanpa
kendali (laissez faire).
Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani
merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan
demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat,
dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian
dan pengawasan dalam masyarakat. Namun timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan
bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu.
Penutup
Seperti telah dikemukakan di atas, masyarakat madani
membutuhkan institusi sosial, non-pemerintahan, yang independen yang menjadi
kekuatan penyeimbang dari negara. Posisi itu dapat ditempati organisasi
masyarakat, maupun organisasi sosial politik bukan pemenang pemilu, maupun
kekuatan-kekuatan terorganisir lainnya yang ada di masyarakat. Akan tetapi
institusi tersebut selama orde baru relatif dikerdilkan dalam arti lebih
sering berposisi sebagai corong kepentingan kekuasaan ketimbang menjadi
kekuatan swadaya masyarakat.
Hegemoni kekuasaan demikian kuat sehingga kekuatan ril
yang ada di masyarakat demikian terpuruk. Padahal merekalah yang sebenarnya
yang diharapkan menjadi lokomotif untuk mewujudkan masyarakat madani. Ada
memang beberapa LSM yang secara konsisten memainkan peranan otonomnya akan
tetapi jumlahnya belum signifikan dengan jumlah rakyat Indonesia yang selain
berjumlah besar juga terfragmentasi secara struktural maupun kultural.
Fragmentasi sosial dan ekonomi seperti itu sangat sulit mewujudkan masyarakat
dengan visi kemandirian yang sama. Padahal untuk duduk sama rendah berdiri
sama tinggi membutuhkan kesamaan visi dan kesadaran independensi yang tinggi.
Dengan demikian boleh jadi masyarakat peradaban yang kita cita-citakan
masih membutuhkan proses yang panjang. Dan boleh jadi hanya impian manakala
pro status quo tetap berkuasa.
Kepustakaan:
Bob S.Hadiwinata, “Masyarakat Sipil Indonesia: Sejarah,
Kelangsungan, dan Transformasinya”, dalam Wacana (Jurnal Ilmu Sosial Transformatif).
Edisi 1.Vo.1,1999.
Craig Calhoun, “Social Theory of the Politics of Identity”,
Blackwell Publihers, USA,1994.
Nezar Patria, dan Andi Arief, “Antonio Gramci: Negara
dan Hegemoni”, Pustaka Pelajar 1999.
Neera Chandoke, “State and Civil Society: Exploration
in Political Theory”. New Delhi dan London: Sage Publication,1955.
Nico Schulte Nordholt, “Menyokong Civil Society dalam
era Kegelisahan”, dalam Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Sindhunata (eds.).Kanisius,
1999.
Nurcholis Madjid, “ Cita-cita Politik Islam Era Reformasi”,
Paramadina, 1999. ?