Pendahuluan
Naisbitt & Aburdene (1985) mencatat berbagai perubahan
paradigma usaha sebagai akibat dari perubahan lingkungan global. Toffler
(1980) melihat terjadinya berbagai perubahan paradigma usaha mengandung
implikasi pada perubahan paradigma organisasi dan manajemen usaha, baik
pada struktur, strategi maupun kulturnya. Perubahan-perubahan tersebut
menuntut cara pandang yang berbeda terhadap kedudukan dan peran sumberdaya
manusia. Cara pandang baru memposisikan sumberdaya manusia lebih strategis
dan vital ketimbang cara pandang lama.
Pengkajian terhadap posisi dan peran sumberdaya manusia
pada organisasi koperasi sangat penting belakangan ini. Sekurang-kurangnya
terdapat dua alasan penting untuk pembenaran hal itu. Pertama, koperasi
adalah organisasi ekonomi yang secara normatif memposisikan manusia sebagai
faktor penting dibandingkan faktor-faktor lainnya. Kedua, fakta bahwa koperasi
dihadapkan pada masalah rendahnya mutu manajemen sebagai akibat dari rendahnya
mutu sumberdaya manusia.
Masalah mutu sumberdaya manusia pada berbagai perangkat
organisiasi koperasi menjadi masalah yang menonjol dan mendapat sorotan.
Subyakto (1996,45) mempunyai pandangan bahwa, kendala yang sangat mendasar
dalam pemberdayaan koperasi dan usaha kecil adalah masalah sumberdaya manusia.
Pengurus dan karyawan secara bersama-sama -ataupun saling
menggantikan- menjadi pelaku organisasi yang aktif, dan menjadi front line
staff dalam melayani anggota koperasi. Keadaan saling menggantikan seperti
itu, banyak terjadi dalam praktik manajemen koperasi di Indonesia. Kinerja
front line staff memiliki dampak terhadap kepuasan pihak-pihak yang memiliki
kaitan dengan pengembangan koperasi, antara lain adalah anggota sebagai
pemilik dan pemanfaat, pemerintah sebagai pembina serta pihak
mitra bisnis yang berperan sebagai pemasok, distributor, produsen, penyandang
dana dan lain sebagainya.
Fenomena perubahan paradigma usaha dan organisasi usaha
secara umum menyebabkan pentingnya perubahan visi organisasi koperasi.
Visi baru koperasi adalah meningkatkan perhatian terhadap kepuasan anggota
sebagai pelanggan melalui strategi pelibatan dan pemberdayaan anggota pengurus
dan karyawan (front line staff). Tetapi masalahnya, faktor-faktor apa sajakah
yang dapat berpengaruh terhadap pembentukan kinerja front line staff yang
lebih baik, sehingga setiap individu itu dapat memberikan mutu layanan
yang sebaik-baiknya bagi para angggota sebagai pelanggan. Dengan ditemukenali
secara baik faktor-faktor pembentuk kinerja maka sangat dimungkinkan untuk
menyusun pemikiran sistimatis baik untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan mengenai perkoperasian maupun kebutuhan praktis pembangunan
koperasi.
Kerangka Pemikiran
Kriteria organisasional berkaitan dengan kemampuan organisasi
untuk menghasilkan keluaran yang terbaik dari sumberdaya yang dimiliki
dan dikelola. Kriteria ini melihat efektivitas organisasi koperasi
dari kemampuan koperasi memuaskan anggota melalui proses pelayanannya.
Sedang kriteria lain yakni kriteria individual berkaitan dengan sejauh
mana koperasi dalam proses pencapaian keluaran optimal itu dapat memberikan
iklim dan suasana psikologis yang menyenangkan bagi individu-individu yang
terlibat dalam proses pencapaian tujuan kriteria organisasional.
Dalam konteks koperasi mutu layanan adalah kriteria organisasional.
Perhatian terhadap mutu layanan selain memiliki muatan normatif seperti
yang dikemukakan oleh kelompok nominalis, yakni charge or principle
of members-promotion (Munkner, 1985), juga karena alasan strategis untuk
meraih customer value melalui customer-driven seperti yang dimaksud oleh
Bound (1994). Perhatian terhadap kepentingan pelanggan dengan cara melihat
kebutuhan serta kepuasan atas pelayanan menjadi faktor kunci untuk keberhasilan
usaha di tengah iklim persaingan yang semakin ketat. Perbaikan kinerja
front line staff merupakan kriteria individual, dimana secara fungsional
berimplikasi pada perbaikan mutu layanan (Wellington,1992).
Kinerja individu dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk
perilaku dengan tingkat kompleksitas dan komposisi tertentu. Lewin (1951)
dengan teori Medan (Field theory) maupun teori Pembelajaran Sosial (Social
Learning theory) dari Bandura (1977) dengan pola interaksi
yang berbeda dengan Lewin, menyatakan pola dasar hubungan yang dimaksud.
Teori Atribusi dari Batteman (1992), dan pendapat Blumberg dan Pringle
(1977) menyatakan hal serupa namun lebih implementatif. Mengacu pada teori-teori
tersebut maka dapat disusun kerangka teoritis dalam penelitian seperti
berikut.
Fakta empiris dalam pembangunan koperasi di Indonesia
membedakan dua jenis koperasi, yakni Koperasi Unit Desa serta koperasi
Non-KUD yang terdiri atas koperasi fungsional, koperasi perkotaan dan koperasi
pedesaan lainnya. Perbedaan terletak pada sistem pembinaan yang diberikan
pemerintah dan pola pelayanan usaha.
Metodologi Penelitian
Berdasarkan sasaran penelitian maka digunakan metode
survei, dengan dibatasi dengan metode survei contoh, yaitu dengan mengamati
fenomena dengan data dan informasi sekelompok responden sebagai perwujudan
refresentatif dari objek yang diteliti.
Teknis analisis menggunakan: (a) Analisis faktor
dengan dibantu oleh Uji Barlett dan Uji Kaiser-Meyer-Olkin (KMO Measure
of sampling Adequacy) (Kerlinger,1996), (b) Analisis Jalur (Path Analysis)
(Sewal Wright,1934), (c) Analisis uji beda dengan Uji Mann-Whitney
U (The Mann-Whitney U Test). Pengolahan data dilakukan melalui komputer
dengan program SPSS for windows.
Penelitian dilaksanakan di Jawa Barat dengan populasi
adalah pengurus dan karyawan KUD dan koperasi Non-KUD sebanyak 49.987 orang.
Jumlah tersebut tersebar di 7.141 koperasi, baik KUD maupun koperasi Non-KUD.
Teknik penarikan contoh digunakan adalah Two Stage Cluster Sampling.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil uji statistik dengan analisis jalur menghasilkan
kesimpulan, terdapat efek sinergi dari berbagai faktor yang diprediksi
terhadap pembentukan kinerja anggota pengurus dan karyawan koperasi. Serta
terbukti terdapat implikasi terhadap pembentukkan mutu layanan. Berdasarkan
pembuktian hipotesis pertama terdapat dua faktor yang signifikan terhadap
pembentukan motivasi staf yakni ciri biografis dan kepribadian individu.
Ciri biografis yang memiliki karakteristik ekonomi serta kepribadian dalam
konteks kerja secara signifikan berpengaruh terhadap ketersediaan dorongan
untuk melaksanakan tugas
dalam pekerjaan. Keadaan ini sejalan dengan pendapat
(Robbins,1996) ataupun Sustermeister (1976) yang menyatakan, motivasi
terbentuk oleh adanya interaksi “employee needs” dan “working condition”.
(a) Kebutuhan Staf, masalah yang harus intensif
dibahas sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan pegawai adalah kurang menariknya
imbal kerja bagi staf. Sistem imbal kerja yang kurang menarik di koperasi
antara lain disebabkan oleh adanya masalah, (1) struktural, (2) insentif
ekonomi, (3) moralitas pimpinan. Ketiga masalah tersebut baik secara parsial
maupun bersama-sama sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pihak manajemen
dan pihak eksternal yang terlibat dalam pembinaan dan kepentingan usaha
koperasi memiliki persepsi dan komitmen yang tepat mengenai koperasi.
(b) Lingkungan Kerja, lingkungan internal memiliki dampak
terhadap kepribadian individu. Staf di KUD memiliki tekanan lebih kuat
dibanding responden di koperasi bentuk lain. Hal ini menandakan bahwa pola
town down dalam pembinaan, dengan sistem target dijadikan instrumen
penting kemudian didukung oleh pimpinan otokratis, menyebabkan anggota
pengurus maupun karyawan berada pada situasi kerja dengan “tekanan” yang
lebih kuat.
Motif pemenuhan kebutuhan sosial (gotong royong) masih
mewarnai alasan keterlibatan individu dalam koperasi, hal ini sejalan dengan
pendapat Herman (1995). Namun walaupun begitu, pertimbangan unsur pendapatan
dalam melihat fenomena homogenitas tingkat motivasi kerja di kedua bentuk
koperasi yang diamati masih dirasakan relevansinya. Terutama dilihat dari
peran pendapatan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang harus tersedia.
Dengan diperolehnya indikasi adanya pengaruh motivasi
kerja anggota pengurus dan karyawan koperasi terhadap kinerja individu.
Maka keputusan memodifikasi faktor-faktor pembentuk motivasi secara
komprehensif dapat dijadikan alternatif langkah solutif. Untuk itu perlu
dilakukan, (a) perbaikan sistem imbal kerja, dan (b) menerapkan pendekatan
baru dalam pelaksanaan fungsi kepemimpinan.
Masalah yang timbul dalam dalam pemenuhan kebutuhan staf
serta lingkungan organisasi menyebabkan koperasi belum mampu menarik kelompok
masyarakat dengan kemampuan dan entrepreuners lebih baik untuk bergabung.
Kemampuan menangani pekerjaan di koperasi membutuhkan profesionalisme
dan kepekaan dalam mempertimbangkan keputusan-keputusan ekonomi. Manajemen
yang berkembang di koperasi umumnya mengembangkan kekuasaan tersentralisasi.
Sistem seperti itu cenderung kurang merangsang tumbuhnya potensi kemampuan
individu seperti yang dipersyaratkan, malahan dapat menciptakan ketergantungan
yang kuat bagi bawahan.
Dominasi yang kuat dari pimpinan menjadi salah satu penyebab
bawahan berkemampuan baik tidak memiliki motivasi yang kuat dan menyebabkan
ketidakpuasan pada proses kerja. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa
kelompok anggota pengurus dan karyawan yang bermotivasi tinggi bukan dari
kelompok berkemampuan tinggi, serta fakta adanya pengaruh yang tidak nyata
terhadap kepuasan kerja. Faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja bekerja
di koperasi, bagi kelompok staf berkemampuan tinggi diidentifikasikan,
karena (1) materi kerja tidak menantang secara emosional, (2) imbalan yang
kurang pantas, (3) kondisi kerja kurang mendukung, (4) rekan sekerja kurang
mendukung, dan (5) ketidaksesuaian antara kepribadian dengan pekerjaan.
Masalah yang dihadapi dalam kebijaksanaan dan praktik
pembinaan sumberdaya manusia di koperasi, khususnya pada pembinan kompetensi
antara lain, (a) intensitas dan relevansi pembekalan internal berupa pendidikan
dan latihan, di dalam dan di luar, serta diskusi bidang kerja masih jarang
dilakukan, (b) pembobotan bidang tugas kurang didukung oleh sistem perencanaan
dan relevansi dengan tugas yang dijalankan, (c) keterbatasan alokasi dana
internal untuk melaksanakan program pelatihan internal khususnya untuk
pembinaan kompetensi.
Dengan terbuktinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap
kinerja anggota pengurus dan karyawan, dan pengaruhnya lebih besar dibanding
dari faktor pembentuk lainnya, maka dapat dipastikan kuatnya keterkaitan
vertikal dalam proses kerja di koperasi. Keadaan ini memberikan tanda perlu
adanya perbaikan kinerja kepemimpinan terus menerus agar selalu memiliki
nilai relevansi dengan tantangan dan kebutuhan anggota pengurus dan karyawan
.
Budaya organisasi secara kontinyu diterapkan dalam organisasi
koperasi. Akan tetapi anggota pengurus dan karyawan yang loyal melaksanakannya
adalah mereka yang berasal dari kelompok berkemampuan lebih rendah,
sehingga secara kualitatif efektivitas pelaksanaannya patut di ragukan.
Pendapat yang menyatakan bahwa koperasi tengah mengalami pelapukan (Herman,1995)
dan kehilangan jati diri (Muslimin,1990) memiliki alasan yang cukup kuat.
Sulit dibedakan secara tegas nilai esensial yang seharusnya ada di koperasi
dan di lembaga ekonomi non-koperasi. Dinamika usaha pada umumnya dan komitmen
terhadap pembangunan koperasi menjadi salah satu penyebab pelapukan itu.
Adanya indikasi motif berkelompok menonjol di kalangan
anggota pengurus dan karyawan koperasi seperti yang terungkap pada tingkatan
motivasi. Hal itu bukan karena adanya kebutuhan “cinta kasih” yang merupakan
karakteristik dasar manusia koperasi seperti yang dimaksud oleh Herman
(1995), akan tetapi lebih cenderung sebagai karakteristik umum budaya kerja
di Indonesia. Hal itu sejalan dengan pendapat Frans (1986) yang menyatakan
bahwa pekerja Indonesia memiliki karakteristik “kolektivistik” dengan kebutuhan
afiliasi yang tinggi. Keadaan ini memungkinkan kurang tumbuhnya kreativitas
dan inovasi individu. Dalam kasus koperasi pedesaan, konflik antara bawahan
dengan tingkat pendidikan tinggi dengan pimpinan berpotensi menciptakan
iklim kerja yang kurang harmonis. Budaya kerja yang ada belum mampu mengakomodasi
konflik menjadi pendorong terciptanya proses kerja yang produktif.
Kriteria mutu layanan yang paling diprioritaskan oleh
anggota pelanggan, adalah sikap empati petugas layanan yang senantiasa
memiliki tingkat kehadiran pada waktu layanan yang tinggi. Pelanggan membutuhkan
petugas layanan yang memiliki komitmen terhadap waktu layanan. Dengan terbuktinya
kinerja front line staff berpengaruh terhadap pembentukkan mutu layanan,
maka upaya-upaya yang mengarah pada modifikasi kinerja perlu menjadi perhatian
selanjutnya.
Mutu layanan yang lebih baik, diterima oleh pelanggan
dari front line staff yang memiliki, tingkat kehadiran yang tinggi (kemangkiran
rendah), serta memiliki komitmen kerja yang tinggi.Hal ini di atas selaras
dengan pendapat Bowen, Siehl dan Schneider dalam Iman (1996), yang
menyatakan bahwa, kepuasan layanan yang dirasakan pelanggan dipengaruhi
oleh sifat dari interaksi yang terjadi dengan front line staff. Demikian
pula dengan pendapat Sutjipto (1996) yang menyatakan terdapat pengaruh
dari karakteristik tertentu dari penanganan masalah kepegawaian terhadap
kepuasan pelanggan. Hal senada juga dinyatakan oleh Webster (1994),
Fandy (1996) maupun Wellington (1989).
Implikasi Kebijaksanaan
(a) Mengembangkan Kepemimpinan Berorentasi pada Bawahan
Peran pimpinan dominan mempengaruhi kinerja individu.
Dengan melihat kemungkinan dinamika serta kebutuhan yang relatif tinggi
pada pengakuan sosial, maka konsep kepimimpinan yang perlu dikembangkan
dalam koperasi adalah konsep kepemimpinan trasformasional dan transaksional.
Konsep ini menempatkan bawahan sebagai orentasi dan sumber dinamika kebijaksanaan
(Burns,1978) dan (Bass,1985).
(b) Pemberdayaan dan Pelibatan Staf
Pemberdayaan (empowerment) dan pelibatan (involvement)
dan anggota pengurus dan karyawan perlu ditempatkan sebagai bagian dari
proses organisasi. Sekaligus dalam sistem modifikasi kinerja anggota pengurus
dan karyawan. Penempatan “pemberdayaan” lebih awal dari “pelibatan” dalam
konteks kasus koperasi, merupakan keputusan yang disadari. Pelibatan tanpa
kemampuan yang memadai menyebabkan koperasi dilola dalam suasana tidak
terkoordinasi dan cenderung tidak profesional.
(c) Mengatasi Prilaku Kritis pada Staf Berkemampuan
Tinggi
Kepemimpin otoriter selama ini efektif untuk menjalankan
organisasi koperasi. Akan tetapi untuk jangka panjang membutuhkan kaji
ulang yang sangat mendasar, setidak-tidaknya pada teknik pendekatan manajemen
sumberdaya manusia. Hal ini dibutuhkan mengingat saat ini mulai terasa
timbulnya “perlawanan” dari anggota pengurus dan karyawan terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang lahir dari proses pengambilan keputusan dengan cara lama.
Perilaku kritis kelompok muda berpendidikan tinggi, timbul
karena ketidakpuasan terhadap ketidakjelasan sistem imbal kerja, serta
kesenjangan penghargaan antara bekerja di koperasi dengan bekerja di luar
koperasi.
(d) Perhatian Kesejahteraan Staf
Motif individu untuk menjadi pengurus dan karyawan koperasi
lebih bersifat dorongan kebutuhan sosial bukan dorongan yang bersifat material.
Demikian pula pembinaan yang dilakukan lebih bersifat pembinaan non-kesejahteraan.
Keduanya ternyata memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan
kinerja. Akan tetapi keadaan ini diduga tidak dapat dipertahankan untuk
jangka panjang. Artinya pembinaan atau perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan
kesejahteraan, dalam artian material, harus mulai menjadi pertimbangan
pimpinan.
(e) Relevansi Program Pembinaan
Mengkaji sasaran Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam
(Repelita VI) Jawa Barat, masih dipenuhi oleh sasaran-sasaran yang sesungguhnya
kurang menyentuh kepentingan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat.
Pembangunan mental “insan koperasi” dan dukungan terhadap
pembentukan “kewirakoperasian” merupakan substansi yang harus muncul dalam
pembinaan oleh pemerintah. Kewirakoperasian berkaitan dengan ketangguhan
sumberdaya manusia koperasi memainkan peranannya dalam mekanisme persaingan
melalui upaya-upaya manajerial. Implementasi dari penjelasan itu adalah,
mendudukkan potensi sumberdaya yang dibutuhkan oleh organisasi berdasarkan
perioritas kepentingan dalam usaha memenangkan persaingan.
Sistem pembinaan harus mampu mengkristalisasikan tradisi
kerja yang menjadi acuan individu dalam organisasi. Hal tersebut sangat
membantu bagi pelaku organisasi, terutama dalam mempersepsikan peran dirinya
dalam organisasi koperasi. Di samping itu, dapat membuka wawasan bahwa,
KUD dapat dilaksanakan oleh masyarakat sendiri, tanpa campur tangan yang
berlebihan dari pemerintah seperti yang selama ini terjadi.
Kesimpulan dan Saran
a. Kesimpulan
1. Efektivitas organisasi koperasi memuat dimensi tujuan
dan dimensi proses internal. Perbaikan mutu layanan merupakan esensi dimensi
tujuan normatif koperasi. Sedang perbaikan kinerja sumberdaya manusia,
terutama front line staff, merupakan esensi dimensi proses internal. Dimensi
proses merupakan bagian paling penting dalam membentuk dimensi tujuan.
2. Kriteria mutu layanan yang paling mengesankan pelanggan,
adalah sikap empati petugas layanan yang senantiasa memiliki tingkat kehadiran
pada waktu layanan yang tinggi. Dalam artian, pelanggan lebih mengharapkan
kehadiran front line staff, anggota pengurus dan karyawan koperasi, tepat
pada waktunya.
3. Kinerja individual merupakan bentuk perilaku kerja
yang nyata, yang memiliki karakteristik efisiensi, efektivitas, dan produktivitas.
Dalam proses pembentukannya, ditandai dengan efek sinergi dari faktor dalam
diri dan faktor luar diri. Faktor luar diri, terutama pada implementasi
peran pimpinan, merupakan faktor yang menjadi locomotion dalam proses pembentukan
kinerja.
4. Motivasi kerja dan kemampuan merupakan faktor dalam
diri yang berpengaruh terhadap pembentukan kinerja. Upaya optimasi kedua
faktor tersebut, secara empiris, dihadapkan pada masalah sistem imbal kerja
yang tidak memuaskan, dan keterbatasan kesempatan mengembangkan kemampuan.
Keadaan tersebut timbul karena terdapatnya masalah-masalah implementatif
struktural, insentif ekonomi, dan moralitas pimpinan.
5. Kebijaksanaan dan praktik pembinaan sumberdaya manusia
serta budaya organisasi merupakan faktor luar diri yang membentuk kinerja.
Upaya optimasi kedua faktor ini dihadapkan pada masalah sistem manajemen
dengan kekuasaan terpusatnya, sistem pembinaan yang tidak komprehensif
dan kurang relevan, serta proses pelapukan nilai dasar koperasi secara
sistimatis.
5. Kemampuan, kebijaksanaan dan praktik pembinaan, serta
budaya organisasi menunjukkan keadaan umum yang berbeda di kedua
jenis koperasi yang diamati. Sedang motivasi tidak menunjukkan keadaan
yang berbeda. Hal yang membedakan kondisi faktor pembentuk, lebih banyak
disebabkan oleh, perbedaan kondisi internal awal anggota pengurus dan karyawan,
setting lingkungan sosial, dukungan akses vertikal dan horizontal, dan
komitmen terhadap budaya.
b. Saran
1. Mengingat pentingnya perhatian terhadap kepuasan pelanggan,
maka perhatian terhadap perbaikan kinerja anggota pengurus dan karyawan
harus dijadikan indikator efektivitas organisasi di samping mutu
layanan. Dengan demikian, revitalisasi peran sumberdaya manusia yang berada
pada front line staff perlu disosialisasikan kepada gerakan koperasi.
2. Pemenuhan terhadap kebutuhan pengakuan sosial merupakan
kebutuhan dengan preferensi tertinggi, maka penciptaan group cohesiveness
melalui penerapan konsep kepemimpinan yang mengakomodasi potensi bawahan
perlu dilakukan.
3. Upaya mengatasi perilaku kritis pada kelompok pengurus
dan karyawan KUD berpendidikan tinggi perlu dilakukan. Secara umum, perlu
diatasi dengan cara mengembangkan sistem pembinaan yang didasari oleh pelaksanaan
kriteria pembinaan secara sinergi. Sedang secara khsusus, perlu penanganan
yang disesuaikan dengan profil kebutuhan bawahan.
4. Fakta pelapukan nilai dasar koperasi khususnya di
KUD menuntut adanya perbaikan sistem pembinaan khususnya yang berkaitan
dengan perbaikan kinerja anggota pengurus dan karyawan. Dalam arti lain,
dibutuhkan sistem pembinaan yang menyentuh “substansi” kebutuhan
koperasi dan kebutuhan individu dalam melaksanakan tugas.
5. Diperlukan pengkajian tentang sistem imbal kerja yang
lebih menarik untuk pelaku manajemen koperasi. Pengkajian itu diperlukan
untuk menarik sumberdaya manusia lebih potensial untuk terlibat dalam pengembangan
usaha koperasi. Perbaikan sistem imbal kerja ini merupakan bagian dari
perbaikan internal organisasi koperasi. Mengingat peluang untuk pengembangan
kinerja koperasi secara menyeluruh cukup terbuka di masa pasca krisis ekonomi
dewasa ini.
6. Diperlukan kaji ulang terhadap sistem pembinaan terhadap
anggota pengurus dan karyawan yang telah dilakukan baik yang bersifat pre-service
training maupun in-service training. Dengan memadukan nilai idielogis normatif
koperasi dengan kebutuhan nyata sebagai lembaga ekonomi yang memiliki karakteristik
efisien, efektip dan produktip. Pengkajian menyangkut pula, komponen-komponen
yang dapat dilibatkan baik di lingkungan lembaga pendidikan formal, informal
maupun non-formal.
7. Perlu pengkajian terhadap eksistensi Koperasi Unit
Desa sebagai satu-satunya lembaga ekonomi bentuk koperasi di pedesaan.
Pengkajian tersebut perlu melihat kepentingan (urgensi) perundangan-undangan
yang melatarbelakanginya selama ini.
KEPUSTAKAAN
Birnbaum. Dee, and Somers. M.J (1993), “Fitting
Job Performance into Turnover Model: An Examination of the Form of the
Job Performance-Turnover Relationship and a Path Model”, dalam Journal
Management, Vol.19, No.1, hal.1-11.
Bluedorn. C.A., Johnson R.A., Cartwright D.K., Barringer
B.R. (1994), “The Interface and Convergence of the Strategic Management
and Organizational Enviromental Domains”, dalam Journal Management, Vol.20,
No.2, hal. 201-262.
Bounds.G., and Johnson.A.J. (1994), “Beyond Total Quality
Management: Toward the Emerging Paradigm”, Mc.Graw-Hill Inc., New York.
Buchanan.D., and Huczynsky A. (1991), “Organization
Behavior”, Prentice Hall International Limited., New York.
Chukwu.S.C.(1990), “Economics of The Co-operative Business
Enterprise”, Marburg.
Dalton. D.R, and Todor W.D. (1993), “Turnover, Transfer,
Absteeism: An Interdependent Perspektive” dalam Journal Management,
Vol.19,No.2, 193-219.
Dulfer.E. (1974), “Operational Efficiency of Agricultural
Cooperatives”, dalam “Developing Countries”, FAO, Rome.
----------------, (eds) (1985), “Cooperation in the Clasch
betwen Member-Participation, Organization Development, and Bureaucratice
Tendencies”, London
Hofstede.G. (1983), “Cultural Pitfalls for Dutch Expatriates
in Indonesia”, Twijnstra Gudde International Management Consutans, Deventer
Netherland.
----------------, (1991), “Cultures and Organization”,
Maidenhead-Berkshire, McGraw-Hill Book Comapany, Europa.
Kotter.J.P., and Heskett.J.L. (1997), “Corporate Culture
and Performance”, Terjmh., Prenhallindo, Simon &Schuster (Asia) Pte.Ltd.
Lewin. Kurt (1951), “Field Theory in Sosial Science:
Selected theoritical papares”, D.Cartwright,ed., Harper &
Row, New York.
Locke A. Edwin, Smith.Ken.G., Erez. Miriam., Chah Dong-Ok,
and Schaffer.Adam (1995), “The Effect of Intra-individual Goal Conflict
on Performance”, dalam Administrative Science Quarterly, 40, hal.423-443.
Luthans.Freed.(1992), “Organization Behavior”, McGraw-Hill
Book Co-Singapore.
Medsker. J. Gina, Williams L.J., and Hlahan P.J (1994),
“A Review of Current Practices for Evaluating Causal Models in Organizational
Behavior and Human Resources Management Reasearch”, dalam Journal Management,
Vol.20, No. 2, hal. 439-464.
McGee. Jeffrey E. (1994), “Using R&D Cooperative
Arrangements to Leverege Mnagerial Experience: A Study of Technology-intensive
new ventures”, dalam Journal of Business Venturing, ISSN:0883-9026 Vol.9
Iss:1, hal. 33-48.
McGregor.D. (1960), “The Human Side of Enterprise”, McGraw-Hill
Book Comapany, New York.
McWilliams. Abagail., and Smart. Dennnis.L(1993), “Efficiency
v.Structure-Conduct-Performance: Implication for Strategy Research and
Practise”, dalam Journal Management, Vol.9, No.1, hal.63-78.
Munkner. Hans. (1985), “Toward Adjusted Patterns of Cooperatives
in Developing Countries”, Bonn.
Naisbitt.J., and Aburdence (1985), “Re-Inventing the
Corporation”. Warner Book, Inc. New York.
Parasuraman. A., V.A. Zeithaml, and L.L. Berry (1990),
“Delivering Quality Service: Balancing Customer Perception and Expectations”,
The Free Press, A Division of MacMillan,Inc., New York.
Raph. White. (1960),“ Autocracy and Democracy”, Harper
and Row Publisher Inc.
Robbin. Stephen , (1996), “Organizational Behavioral:
Concept, Controversies, and Aplications”, Prentice Hall International Inc.,
San Diego.
Ropke. Jochen (1991),“ Cooperative Entrepreneurship”,
Marburg.
Wallace. E. Jean (1995), “Organizational and Professional
Commitment in Professional and Nonprofesional Organization”, dalam Administrative
Science Quarterly, 40, hal. 228-255.
Webster.E.F.Jr. (1994), “Market Driven Management”, The
Portable MBA Series, Jhon Willey & Sons,Inc.
Wellington. Patricia. (1998), “Kaizen Strategies for
Customer Care”, Terj. A.Sindoro, Interaksara, Batam. ?