Pengantar
Perbincangan mengenai ekonomi rakyat semakin santer terdengar
seiring dengan terpuruknya ekonomi ala orde baru yang lebih berpihak kepada
pengusaha besar. Walaupun intensitas perbincangan belum dapat menggambarkan
keberpihakan yang sebenarnya. Namun isu populis ini telah mengangkat kembali
eksistensi koperasi sebagai bentuk kristalisasi ekonomi yang berbasis ekonomi
kelompok bawah. Bukti dari pada itu adalah meningkatnya keinginan masyarakat
untuk mendirikan koperasi dimana-mana. Dari kalangan ibu-ibu yang tinggal
di komplek perumahan sampai kepada kelompok pengusaha-pengusaha kelas menengah
yang ingin memanfaatkan situasi di pasar karena hengkangnya pengusaha yang
selama ini menjadi leader market ke luar negeri.
Popularitas koperasi belakangan ini juga tidak hanya
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan
dengan kebutuhan dan naluri bisnis, seperti kelompok ibu-ibu dasa wisma
ataupun kelompok entrepreneur, akan tetapi juga merangsang kelompok lain
untuk kepentingan yang tidak terlalu signifikan dengan kepentingan langsung
ekonomi masyarakat, misalnya politiknya. Bagaimana suatu kelompok
orsospol peserta pemilu yang lalu memanfaatkan koperasi sebagai medium
komunikasi politik pada masa kampanyenya. Demikian pula, kita menyaksikan
bagaimana kepentingan politik bermain dalam persaingan untuk memperoleh
posisi ketua Dekopin.
Sejarah Politisasi Ambivalen
Fenomena “pemanfaatan” koperasi untuk kepentingan politik
bukanlah hal yang baru. Sejak ide koperasi mulai diperkenalkan dalam
khasanah ekonomi rakyat di Indonesia sampai pada masa pemerintahan orde
baru, koperasi tidak pernah lepas dari muatan dan nuansa politis. Bank
perkreditan rakyat, sebagai embrio koperasi, lahir dari pemikiran seorang
patih di Purwokerto, sebagai seorang “birokrat” tentu saja kebijaksanaan
yang diambil tidak mungkin lepas dari kepentingan politiknya. Demikian
pula pada jaman setelah itu, koperasi dengan baju lain bernama kumiai dimanfaatkan
oleh pemerintah kolonial Jepang sebagai “mesin keruk” sumberdaya pangan
yang sangat diperlukan oleh balatentara Dai-Nipon yang tengah berlaga pada
PD II.
Setelah merdeka pun koperasi penuh dengan muatan politis,
Undang-undang nomor 14/64 yang mengatur kehidupan koperasi penuh dengan
nuansa politik yang dianggap menguntungkan pemerintahan orde lama. Dengan
pertimbangan muatan politik yang lekat dalam koperasi, pemerintahan orde
baru segera mengganti undang-undang tersebut dengan undang-undang yang
baru, yakni UU nomor 12 tahun 1967. Namun kehadiran undang-undang inipun
tidak lepas dari kepentingan strategi ekonomi orde baru yang pada saat
itu mulai diterapkan. Pada beberapa bagian undang-undang ini mengundang
ketidakjelasan dan memperbesar potensi konflik antar pelaku koperasi. Ketidakjelasan
dan konflik internal yang timbul di kalangan insan koperasi, ternyata dimanfaatkan
benar oleh pihak pengusaha non-koperasi untuk melakukan hegemoni ekonomi
melalui konspirasi dengan kekuasaan.
Bertahun-tahun insan koperasi mendiskusikan sustansi
Bab III pasal 3 UU 12/67, mengenai definsi koperasi, yang dianggap menjadi
kendala dalam pembangunan koperasi. Berpuluh-puluh kali seminar digelar
untuk membahas implementasi peran pemerintah yang tepat dalam menggulirkan
organisasi dan kemandirian koperasi. Kala diskusi dan seminar itu usai,
kemudian lahir Undang-undang nomor 25 tahun 1992, harapan untuk mendinamisasi
kehidupan koperasi pun lebih menggumpal, namun pada aat itupula, potensi
ekonomi dan peluang usaha sudah dikuasai habis oleh pengusaha-pengusaha
tertentu. Yang atas restu rejim yang berkuasa, melakukan praktek-praktek
bisnis tidak wajar seperti monopoli, oligopoli, monopsoni, dan oligopsoni.
Maka yang terjadi kemudian, koperasi hadir setiap malam di TVRI dalam pidato
dan temuwicara pejabat, namun tidak pernah hadir dalam realitas proses
perbaikan kesejahteraan rakyat.
Pada masa orde baru, hubungan penguasa dengan rakyat
memang tidak pernah akrab. Bagi sebagian orang, pembangunan sering di interpretasikan
dan dimaknai sebagai marjinalisasi rakyat kecil. Dan pembangunan
koperasi adalah lantunan “nina-bobo” yang lebih berciri retorika
politik ketimbang komitmen kesejahteraan rakyat.
Reorentasi Keberpihakan
Di luar realitas politik, secara nalar re-orentasi ekonomi
ke arah populis cukup bisa diterima. Hal itu dapat dijelaskan, sebagai
berikut.
Pertama, distorsi terhadap amanat rakyat yang tertuang
dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut selama + 30 tahun memang sebaiknya diakhiri,
karena teori tetesan kebawah (trickle down affect) terbukti tidak efektif
untuk menciptakan kemakmuran masyarakat dalam arti yang sebenarnya.
Kedua, potensi produktif rakyat sangat besar, sebagian
besar (+ 75%) adalah pengusaha kecil yang memiliki hak dan potensi untuk
secara bertahap dapat ditingkatkan menjadi pengusaha menengah.
Ketiga, fundamen ekonomi nasional yang tangguh membutuhkan
partisipasi seluruh potensi masyarakat. Asumsi dasar orentasi ini adalah,
perekonomian rakyat yang dilola oleh rakyat kecil dan relatif lemah, tak
harus membentuk citra pesimistis, karena mereka berpotensi untuk kuat karena
jumlahnya sangat banyak dan berproduksi dengan menggunakan bahan baku lokal
(dalam negeri).
Dalam dimensi politis keberpihakan ekonomi pada rakyat
adalah sebuah keniscayaan dalam menyongsong masyarakat Indonesia baru.
Karena syarat-syarat demokrasi politik membutuhkan conditio sine quanon
berupa kehidupan ekonomi rakyat lebih mapan. Tidak bisa kita bayangkan,
ekonomi kita bisa mendukung demokrasi politik kalau orang terjebak dalam
kemiskinan absolut dan dalam jumlah yang besar. Dalam kata lain,
bila demokrasi ekonomi tidak disandingkan dengan demokrai politik,
maka yang terjadi adalah radikalisasi sosial dan anarki.
Sejauh pengamatan penulis sampai saat ini, komitmen keberpihakan
itu telah nampak pada partai-partai besar pemenang pemilu. PDI perjuangan,
Partai Golkar, PKB, PPP, dan PAN masing-masing dalam program ekonominya,
melihat pemberdayaan ekonomi rakyat -dimana koperasi di posisikan sebagai
intrumentasi penting- sebagai materi utamanya. Sehingga dalam tataran
komitmen, pembangunan koperasi telah memperoleh jaminan yang tegas, namun
berdasarkan pengalaman masa lalu, komitmen saja tidak cukup. Masih dibutuhkan
elaborasi komitmen sehingga bangsa ini tidak lagi terjebak pada lubang
yang sama, yakni menempatkan koperasi sebagai komoditi politik semata dan
melupakan fungsi substansinya. Ada baiknya kita ingat, keledai pun tidak
pernah mau terperoksok pada lubang yang sama.
Masa Depan Koperasi: Perspektif Politik
Tidaklah mudah melihat masa depan implementasi pembangunan
koperasi pada pemerintahan yang akan datang. Sesukar meneropong sosok pemerintahan
pasca Sidang Umum nanti. Sebuah pelajaran pertama yang berharga dalam berdemokrasi
bagi bangsa kita adalah, selama mekanisme konstitusional belum sepenuhnya
dilalui, maka sepanjang itu pula kepastian itu belum bisa diperoleh. Sejauh
ini wacana politik kita telah menyodorkan kekuatan dikotomis dengan
dua kutub ekstrimnya pada PDI Perjuangan dan Partai Golkar, atau Megawati
dan Habibie. Dalam konstelasi pembangunan koperasi, dua kekuatan itu memiliki
konsekwensi rasional yang agak berbeda.
Habibie sebagai bagian dari komunitas politik, tidak
dapat lepas dari stigma pemerintahan masa lalu yang menempatkan koperasi
tidak lebih sebagai instrumentasi politik ketimbang instumentasi ekonomi.
Secara pribadipun tidak mempunyai track record yang patut dikedepankan
dalam pembangunan koperasi di masa lalu. Namun harus diakui ia mempunyai
kekuatan yang siap mem-back up bila pemerintahannya yang berkuasa. Tokoh-tokoh
muda dari partai berlambang beringin ini tidak sedikit yang secara langsung
terjun dalam pembangunan koperasi dan memiliki komitmen yang kuat. Namun
masalahnya, sejauh mana tokoh-tokoh potensial itu dapat berperan dalam
kabinet mendatang, karena bila yang terjadi adalah pemerintahan koalisi
maka sudah barang tentu yang terjadi adalah kompromi antar partai. Sehingga
boleh jadi pos-pos bidang ekonomi dalam kabinet tidak ditempati oleh kader
potensial partai ini. Hasil kompromi yang mengarah ke arah itu bisa terjadi,
sebab capability dan credibility kader partai lain kemungkinan lebih
dapat diandalkan untuk memperbaiki kinerja ekonomi yang lebih luas.
Megawati memiliki tenaga andalan dalam bidang ekonomi,
demikian pula citra yang dibentuk selama kampanye sebagai partainya masyarakat
tertindas, dapat menjadi dorongan yang kuat dalam mengimplementasikan komitmennya
kepada masyarakat kecil. Namun dalam mewujudkan komitmen ekonomi rakyat,
dan juga koperasi, cenderung agak berbeda dengan pemerintahan
yang ada saat ini. Laksamana Sukardi menentang keras konsep redistribusi
aset yang saat ini mulai diterapkan oleh Adi Sasono, maupun Muslimin Nasution
dalam kasus HPH. Menurutnya redistribusi aset seperti konsep komunis (Kontan,21
Juni 1999). Sementara Kwik Kian Gie yang cenderung ke free market –kecuali
idenya dalam exchange rate- beranggapan implementasi kebijaksanaan ekonomi
kerakyatan yang diambil saat ini cenderung berpotensi menciptakan distorsi
pasar. Kecenderungan itu terjadi karena sistem yang dikembangkan kemungkinan
akan menciptakan entry barrier dalam memasuki pasar. Melihat dari kenyataan
tersebut, akan terjadi diskontinuitas dalam pembangunan koperasi
pada era ini.
Apapun hasilnya sidang umum nanti tampaknya harus diantisipasi
kemungkinan perubahan tuntutan kinerja koperasi seiring dengan meningkatnya
tantangan untuk memperhatikan kehidupan ekonomi rakyat. Allah SWT
pun senantiasa memihak pada orang-orang tertindas yang susah hidupnya,
kaum mustad’afin. Dan Allah SWT mengajarkan bahwa do’a orang kecil
yang tertindas itu, tanpa sekat.